PENANTIAN...
16 Juli 2014.
Kepulan asap dari buangan kendaraan mengepul bersama dengan debu jalanan yang belum tersapu oleh air hujan. Roda-roda truk yang besar makin memperkeruh suasana. Jalanan makin berdebu, gersang. Motor ini tetap melaju dengan kecepatan sedang walau jalanan cukup lenggang. Barulah, ketika tiba di jalanan dua arah, motor melaju pelan sekali. Takut kalau menyenggol kendaraan lain. Dengan sabar, gua hirup semua udara kotor itu dan menelan mentah-mentah teriknya mentari siang.
Jam hampir menunjukkan pukul dua, tapi perkiraan gua adalah, gua bakalan sampai ke tempat tujuan sebelum jam dua. Mata gua tetap awas melihat keadaan sekeliling, karena gua takut kebablasan. Gua hampir lupa dimana itu gerbang Dasana Indah, Bonang.
Setelah melewati itu semua, akhirnya sampailah gua di depan gerbang itu. Teriknya mentari membuat gua terus memicingkan mata karena nggak tahan sama silaunya. Kaca helm gua turunkan, berharap dapat menghalau sinar matahari langsung. Gua ngelihat keadaan sekeliling begitu sampai gerbang Dasana Indah, cuma ada angkutan umum yang lagi nunggu penumpang, pendagang es tebu, pendagang timun suri, dan beberapa tukang ojeg. Gua mencari sosok temen gua yang udah janjian buat ber-transaksi. Dia belum datang, akhirnya gua menepikan motor. Gua celingak-celinguk, karena gua pikir gua yang telat. Gua noleh ke belakang, ada seorang cewek berambut panjang yang lagi duduk di motornya.
"Mbak, ini bener gerbang Dasana Indah, kan?" tanya gua.
"Iya, bener." Jawab Mbak itu singkat. Gua cuman ngangguk dan dengan sabar, nunggu teman gua itu. Mungkin aja dia emang belum sampai dan lagi dalam perjalanan.
5 menit. Gua masih sabar nunggu, walau agak was-was juga karena banyak orang lalu lalang dan ada seorang bapak tua yang ngelihat ke arah gua terus.
10 menit. Gua masih sabar juga. Kali ini, Si Bapak entah kemana.
30 menit. Gua udah mulai resah. Masalahnya, disini panas banget. Walau terkadang, langit agak redup dan itu memberikan sensasi adem, eh terus gak lama, langsung terik lagi. Begitulah terus, sampai gue bener-bener kayak dipermainkan oleh cuaca.
40 menit. Gua sms temen gua itu. Kabar terakhir dari sms yang masuk ke ponsel, dia bilang hapenya lowbet dan kalau dia udah gak bales itu artinya hapenya udah bener-bener habis batere.
Gua coba sms. Gua tanya dia dimana. No respon. Gua telepon, tapi sayang, ada operator nyebelin yang bilang, "maaf, pulsa yang anda miliki tidak cukup untuk melakukan panggilan ini."
50 menit (bahkan hampir satu jam, hehehe). Gua kirim sms ke dua. Gua inget, kalo hari ini mau jenguk Khanza di rumah sakit nanti sore. Gua harus pulang karena jam udah menunjukkan hampir pukul tiga. Gua sms, intinya gua bilang gua gak bisa lama-lama dan gua minta maaf kalau harus ninggalin tempat janjian. Gue merasa bersalah bagnet karena gua malah ngebatalin janjian itu.
Dengan kepala yang sedikit pusing dan kaki yang mendadak gemeter, akhirnya gua puter kunci motor. Tekan Stater dan masukin gigi satu. Tapi, gua urung setelah otak gua memerintah untuk nunggu lima menit lagi. Terus, hati sama otak mulai gak sinkron. Mereka debat, hati bilang kalau mending gua pergi aja dari tempat itu, tapi otak nolak dan bilang tunggulah sebentar lagi. Setelah debat yang singkat itu, hati kecil gua mendadak gak bisa berkata-kata lagi. Gua bingung, kira-kira harus nunggu apa nggak.
Akhirnya, gua gak kuat juga nunggu lama di pinggir jalan. Panas banget, Brur.Gua langsung tekan tombol stater dengan asal, alhasil motor nggak nyala. Pas saat itulah, gua berniat buat pulang aja. Tapi, laju angkot yang memelan menghentikan niat gua.
Temen gua turun dari angkot itu, bayar ongkos, dan langsung menghampiri sambil setengah berlari. Dia langsung minta maaf habis-habisan karena angkot yang dia tumpangin jalannya kayak siput juga jalanan macet, dan entah kenapa, rasa bosan banget itu menguap gitu aja. Kita ngobrol bentar, tentang sekolah masing-masing. Dan, kita ketawa bareng karena ternyata kita sama-sama ikut eskul yang sama. Dan, ada beberapa juga kejadian di sekolah dia yang gua alami juga di sekolah gua. Kita ketawa dan tiba-tiba dia ngelihat ada noda di kelingking gua.
"Dyah udah nyoblos, ya?" tanyanya. Ini tinta emang agak susah hilang kalau udah nempel di kuku.
"Iya."
"Nyoblos siapa?" wajah dia berseri-seri.
Kalo denger pertanyaan itu, gua agak hati-hati juga. Takutnya kita beda 'jagoan'. "Em... Emang kalau Mifta sukanya sama siapa, nih?"
"Em... kalau aku sih, sama yang pasti-pasti aja." Dia ketawa kecil.
"Maksudnya?"
"Iya, yang tegas, lho..."
Gua langsung paham dan gua ngagguk.
"Kalau aku sih, sama yang sederhana dan merakyat aja. Tau kan, siapa?"
Dia langsung ketawa dan bilang tau. Terus gua langsung nimpalin, "oke, Mif! Walau beda pilihan, nggak usah diperdebatkan! Hahahaha...." Dia pun setuju dan kita ketawa bareng. See? Pilpres nggak akan memutuskan jalinan pertemanan ini kalau kita saling ngehargain.
Obrolan terus berlanjut secara singkat sampai Mifta bilang, "udah jam berapa sekarang?"
Karena langit udah mulai oranye dan jalanan mulai padat sama kendaraan yang mau pulang ke rumah, akhirnya kita putuskan untuk pisah. Okelah, gua seneng bisa ketemu temen SMP gue. Nggak terasa juga, kita sekarang udah kelas 12. Siap untuk menyosong masa depan yang (harus) indah...
Penantian kali ini, terbayar lunas kalau udah bisa lihat senyum teman lama kita.
Nggak akan ada yang berubah. Gua akan tetap sama. Jadi pribadi yang berusaha untuk rendah hati, tebar senyum dan semangat, juga untuk setia kawan.
Kepulan asap dari buangan kendaraan mengepul bersama dengan debu jalanan yang belum tersapu oleh air hujan. Roda-roda truk yang besar makin memperkeruh suasana. Jalanan makin berdebu, gersang. Motor ini tetap melaju dengan kecepatan sedang walau jalanan cukup lenggang. Barulah, ketika tiba di jalanan dua arah, motor melaju pelan sekali. Takut kalau menyenggol kendaraan lain. Dengan sabar, gua hirup semua udara kotor itu dan menelan mentah-mentah teriknya mentari siang.
Jam hampir menunjukkan pukul dua, tapi perkiraan gua adalah, gua bakalan sampai ke tempat tujuan sebelum jam dua. Mata gua tetap awas melihat keadaan sekeliling, karena gua takut kebablasan. Gua hampir lupa dimana itu gerbang Dasana Indah, Bonang.
Setelah melewati itu semua, akhirnya sampailah gua di depan gerbang itu. Teriknya mentari membuat gua terus memicingkan mata karena nggak tahan sama silaunya. Kaca helm gua turunkan, berharap dapat menghalau sinar matahari langsung. Gua ngelihat keadaan sekeliling begitu sampai gerbang Dasana Indah, cuma ada angkutan umum yang lagi nunggu penumpang, pendagang es tebu, pendagang timun suri, dan beberapa tukang ojeg. Gua mencari sosok temen gua yang udah janjian buat ber-transaksi. Dia belum datang, akhirnya gua menepikan motor. Gua celingak-celinguk, karena gua pikir gua yang telat. Gua noleh ke belakang, ada seorang cewek berambut panjang yang lagi duduk di motornya.
"Mbak, ini bener gerbang Dasana Indah, kan?" tanya gua.
"Iya, bener." Jawab Mbak itu singkat. Gua cuman ngangguk dan dengan sabar, nunggu teman gua itu. Mungkin aja dia emang belum sampai dan lagi dalam perjalanan.
5 menit. Gua masih sabar nunggu, walau agak was-was juga karena banyak orang lalu lalang dan ada seorang bapak tua yang ngelihat ke arah gua terus.
10 menit. Gua masih sabar juga. Kali ini, Si Bapak entah kemana.
30 menit. Gua udah mulai resah. Masalahnya, disini panas banget. Walau terkadang, langit agak redup dan itu memberikan sensasi adem, eh terus gak lama, langsung terik lagi. Begitulah terus, sampai gue bener-bener kayak dipermainkan oleh cuaca.
40 menit. Gua sms temen gua itu. Kabar terakhir dari sms yang masuk ke ponsel, dia bilang hapenya lowbet dan kalau dia udah gak bales itu artinya hapenya udah bener-bener habis batere.
Gua coba sms. Gua tanya dia dimana. No respon. Gua telepon, tapi sayang, ada operator nyebelin yang bilang, "maaf, pulsa yang anda miliki tidak cukup untuk melakukan panggilan ini."
50 menit (bahkan hampir satu jam, hehehe). Gua kirim sms ke dua. Gua inget, kalo hari ini mau jenguk Khanza di rumah sakit nanti sore. Gua harus pulang karena jam udah menunjukkan hampir pukul tiga. Gua sms, intinya gua bilang gua gak bisa lama-lama dan gua minta maaf kalau harus ninggalin tempat janjian. Gue merasa bersalah bagnet karena gua malah ngebatalin janjian itu.
Dengan kepala yang sedikit pusing dan kaki yang mendadak gemeter, akhirnya gua puter kunci motor. Tekan Stater dan masukin gigi satu. Tapi, gua urung setelah otak gua memerintah untuk nunggu lima menit lagi. Terus, hati sama otak mulai gak sinkron. Mereka debat, hati bilang kalau mending gua pergi aja dari tempat itu, tapi otak nolak dan bilang tunggulah sebentar lagi. Setelah debat yang singkat itu, hati kecil gua mendadak gak bisa berkata-kata lagi. Gua bingung, kira-kira harus nunggu apa nggak.
Akhirnya, gua gak kuat juga nunggu lama di pinggir jalan. Panas banget, Brur.Gua langsung tekan tombol stater dengan asal, alhasil motor nggak nyala. Pas saat itulah, gua berniat buat pulang aja. Tapi, laju angkot yang memelan menghentikan niat gua.
Temen gua turun dari angkot itu, bayar ongkos, dan langsung menghampiri sambil setengah berlari. Dia langsung minta maaf habis-habisan karena angkot yang dia tumpangin jalannya kayak siput juga jalanan macet, dan entah kenapa, rasa bosan banget itu menguap gitu aja. Kita ngobrol bentar, tentang sekolah masing-masing. Dan, kita ketawa bareng karena ternyata kita sama-sama ikut eskul yang sama. Dan, ada beberapa juga kejadian di sekolah dia yang gua alami juga di sekolah gua. Kita ketawa dan tiba-tiba dia ngelihat ada noda di kelingking gua.
"Dyah udah nyoblos, ya?" tanyanya. Ini tinta emang agak susah hilang kalau udah nempel di kuku.
"Iya."
"Nyoblos siapa?" wajah dia berseri-seri.
Kalo denger pertanyaan itu, gua agak hati-hati juga. Takutnya kita beda 'jagoan'. "Em... Emang kalau Mifta sukanya sama siapa, nih?"
"Em... kalau aku sih, sama yang pasti-pasti aja." Dia ketawa kecil.
"Maksudnya?"
"Iya, yang tegas, lho..."
Gua langsung paham dan gua ngagguk.
"Kalau aku sih, sama yang sederhana dan merakyat aja. Tau kan, siapa?"
Dia langsung ketawa dan bilang tau. Terus gua langsung nimpalin, "oke, Mif! Walau beda pilihan, nggak usah diperdebatkan! Hahahaha...." Dia pun setuju dan kita ketawa bareng. See? Pilpres nggak akan memutuskan jalinan pertemanan ini kalau kita saling ngehargain.
Obrolan terus berlanjut secara singkat sampai Mifta bilang, "udah jam berapa sekarang?"
Karena langit udah mulai oranye dan jalanan mulai padat sama kendaraan yang mau pulang ke rumah, akhirnya kita putuskan untuk pisah. Okelah, gua seneng bisa ketemu temen SMP gue. Nggak terasa juga, kita sekarang udah kelas 12. Siap untuk menyosong masa depan yang (harus) indah...
Penantian kali ini, terbayar lunas kalau udah bisa lihat senyum teman lama kita.
Nggak akan ada yang berubah. Gua akan tetap sama. Jadi pribadi yang berusaha untuk rendah hati, tebar senyum dan semangat, juga untuk setia kawan.
Komentar
Posting Komentar