I Really Miss...

Suasana toko buku yang dingin, membuat aku makin merapatkan jaket hitam bergaris abu-abu di lengan semakin erat. Berharap hawa dingin dari pendingin ruangan itu tidak terlalu menusuk kulitku lagi. Dinginnya suasana toko buku yang agak lengang membuat aku semakin mengigil, kakiku pun gemetar. Bukan, kali ini, kaki ini bergetar bukan karena dinginnya AC. Tapi, ketika pacuan jantung ini semakin kencang saat melihatnya. Berdiri dengan rambut cepak dan kaos belang-belang dengan celana panjang berwarna cokelat. Dia sudah siap dengan sebuah mik dan di depannya ada meja kaca panjang yang memajang karyanya yang sedang booming.

Aku datang terlalu cepat ternyata. Acara baru saja akan dimulai. Aku duduk di baris kedua, mendekap buku karyanya di dada. Tatapanku tak pernah teralih dari wajahnya yang putih bersih itu. Dia berbicara dengan santai, mengenai proses pembuatan karya itu, dan menceritakan apa saja halangan yang ia lewati. Semuanya sangat mempesona. Desau suaranya, penampilannya, dan ketenangannya dalam menjawab segala pertanyaan yang diajukan MC.

Lambat-laun, toko buku ini semakin sesak. Pendingin ruangan pun mulai berkurangan kedinginannya. Semua pengunjung berhenti di dekat panggung kecil itu, terdiam, mungkin takjub melihat dia berada di sana. Aku pun begitu. Sangat takjub. Tak menyangka kalau akhirnya diri ini bisa berkunjung ke sini, melihat wujudnya secara nyata. Ingin sekali aku menggapai tubuh tinggi itu.

Tak terasa, acara selesai. Aku sangat senang bisa bertanya padanya di sela-sela sesi pertanyaan. Kunikmati setiap ucapan lembutnya, tatapan mata hangatnya, juga senyum manis yang selalu tercetak di bibir merahnya.

Acara selesai, semua sudah bersiap untuk pulang. Beberapa orang berbondong untuk membereskan tempat acara tersebut, sementara dia masih berdiri sembari melihat ke sekitar. Terlihat beberapa pengunjung langsung menghampirinya, menyodorkan buku karangannya, dan meminta dia untuk membubuhkan tanda tangan. Dengan senang hati, dia melakukan itu semua. Aku pun menjadi salah satu orang yang antri untuk meminta tanda tangannya.

"Namamu?"

"Dyah Apriliani Kusumaastuti."

Tangannya terhenti sebelum menulis namaku, dia mendongak dan menatapku. Langsung, aku membalas tatapan mata hitamnya. Dia langsung tersenyum, "yang di socmed itu, ya? Yang sering nanyain kapan buku saya keluar lagi?" dia tersenyum, lalu kembali menuliskan namaku di bukunya.

Oke, dia salah dalam penulisan namaku. Dia menulisnya begini: "Diah Apriliani K", sementara namaku,"Dyah Apriliani K". Aku buru-buru mengoreksinya, dia langsung tersenyum dan meminta maaf. Tahukah kamu, aku memaafkan semua kesalahanmu. Kesalahanmu menjadi indah ketika aku melihatnya.

"Ini udah." Ia mengembalikan bukuku. Dia melihat sekitar, para pengunjung sudah mulai sepi. "Kamu puasa?" tanyanya sembari meraih tas slempang.

"InshaAllah iya."

Dia mengangguk, melihat arlojinya yang berwarna cokelat tua. "Sebentar lagi jam enam, mau buka puasa bareng?"

"Eeeeh..." Aku kaget. Kan, niatku datang kesini hanya untuk datang di acara talkshownya. Mimpi apa aku semalam. Dia mengajakku untuk buka puasa? Aku gagap sendiri.

"Eh, emang sih, saya kristiani. Maksud saya, kalau kamu mau buka puasa, ayo saya temenin. Kali-kali, ngobrol sama salah satu pembaca buku saya." Lagi-lagi, dia tersenyum.

Tuhan... tinggal berapa stock senyum manisnya itu?

Entah, aku merasa dunia di sekitarku bergerak terlalu cepat dan tak diduga. Yang aku tahu, aku sudah duduk di bangku yang berhadapan dengannya. Kita hanya dihalangi oleh meja persegi yang dihias dengan lilin beraromatherapy. Dia menangkupkan telapak tangannya, mulai bertanya, "jadi, buku saya yang mana saja yang kamu suka?"

Kini, kita sedang berada di restoran yang terdapat di mall ini. Memesan dua porsi makanan dan minuman. Aku menatap manik matanya, lalu tersenyum, "semua," ucapku jujur.

Dia tampak terkejut dan tidak bisa menyembunyikan raut senangnya. "Umurmu berapa? Kamu suka menulis?"

"17. Suka! Suka sekali. Aku baru suka menulis ketika aku duduk di bangku SMP, dan baru menekuninya ketika aku berusia 14 tahun."

Dia langsung terdiam. Bibirnya terkatup dan dia mengangguk kecil. "Umur 14 tahun memang umur dimana potensi kita mulai terlihat. Saya jadi inget sama seseorang nih..."

Aku melihat raut wajahnya yang mendadak keruh. Dia langsung memijat kening. "Ah, lupakan. Em... terus, gimana sama perkembangan tulisan kamu?"

ASTAGA! Serius, aku bisa sedekat ini dengan dia? Semuanya terasa tak masuk akal dan terlalu cepat.

***

Suasana dingin khas mall berganti dengan kehangatan yang tiada tara. Hmm.. ini seperti selimut di kamar kakakku. Bulu-bulu selimutnya halus dan mampu menghangatkan tubuh. Aku menggeliat, berusaha membuka mata yang lengket ini.

"Heh, bangun! Mau sampai kapan tidurnya?"

Aku langsung menoleh, mengerjap beberapa kali untuk memastikan penglihatanku tidak salah.

Apa? Jadi...

Aku langsung bangkit, mengecek salah satu buku favoriteku. Tidak ada. Tidak ada tanda tangan penulisnya di buku favoriteku itu. Jadi, tadi itu?

Tapi, ini semua terasa nyata. Walau ternyata hanyalah bunga tidur yang indah. Ini semua terasa nyata. Aku seperti dapat merasakan kehadirannya yang sangat jauh dan sulit digapai itu.


This is just a dream that was created because I really miss him.

11 Juli 2014.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

[REVIEW BUKU-SHOOTING STAR BY VERONICA GABRIELLA]

[REVIEW] NOVEL MR AND MRS WRITER BY ACHI TM

RESENSI FANTASTEEN SCARY-HALTE ANGKER- BY DYAH APRILIANI