Hari-Hari yang Lalu ...
Sumber: http://dreamyhollic.blogspot.com/2013/11/the-rhythm-of-rain.html |
Acara itu ditutup dengan tepuk tangan meriah dari semua orang yang hadir. Ketika suara tepuk tangan sudah menghilang dan berganti dengan riuh-rendah suara para hadirin, aku masih bisa mendengar suara tepuk tangan dari orang di belakangku. Karena penasaran siapa yang bertepuk tangan, kutolehkan kepala dan mendapati sosok itu.
"Penampilan kamu keren banget," ucapnya lantang, tidak seperti dia yang kutahu. Biasanya, dia tidak pernah selantang dan selancar ini kalau berbicara. Senyumnya teramat beda dibawah langit yang mulai menggelap.
Aku mengernyit, tidak paham dengan maksud perkataan dia. Siapa yang tampil? Aku? Daritadi aku hanya menjadi penonton dan tidak menampilkan apapun. "Kan, aku nggak tampilin apa-apa," jawabku sambil tersenyum.
Yang kutatap malah membalas tatapanku dengan hangat, dengan senyum yang tak pernah ia tunjukkan di hari-hari yang lalu. Dengan penampilan yang tak pernah ia tunjukkan pula di muka umum. Kalau biasanya ia hanya berpenampilan sederhana, tapi kali ini ia tambah menawan dalam balutan kaos putih yang ditutup jaket hitam dan celana jeans panjang. Kacamata ber-frame hitam membingkai kulit wajahnya yang putih bersih. Sumpah, dia nggak pernah seperti itu. Dia nggak pernah terlihat tersenyum, jarang sekali ngomong, berpenampilan seadanya, cuek, dan selalu bersikap tenang. Aku bilang, dia nggak pernah seperti ini. Bisa berbicara dengan lancar padaku. Bahkan, di hari-hari yang lalu, dia hanya menatapku sambil lalu. Tidak bisa menangkap maksud dari sikapku yang mungkin saja bisa terbaca olehnya, kalau dia cukup peduli untuk mau membacanya.
Suara adzan maghrib membuatku mengurungkan niat untuk berbicara lebih lanjut. Tak lama, dia membuka suara lagi, "ke masjid yang besar itu, yuk. Kita solat dulu."
Sumpah lagi. Dia nggak pernah terlihat ramah di hari-hari yang lalu.
"Ayuk." Dan, bener ya, entah kenapa aku nggak berpikir dua kali untuk menerima ajakannya.
Masjid yang kita tuju itu megah, besar, dan ramai. Di sepanjang perjalanan, dia berceloteh panjang. Dan ini nggak pernah dia lakukan di hari-hari yang lalu. Dia bilang, dia senang banget dengan sikapku yang bertolak belakang dengannya. Dia yang tenang dan aku yang panikan. Dia yang kalem dan aku yang nggak bisa diem. Dia yang nggak mau ambil resiko dan aku yang selalu berani ambil resiko. Yang buat percakapan ini jadi aneh sekaligus membingungkan ketika dia bilang, "sepertinya kita cocok." Tiga kata itu dia ucapkan dengan raut wajah tenang, tapi langsung membuat aku porak-poranda. Bayangkan! Ketika sosok yang kamu idamkan berkata seperti itu.
Aku tegasin sekali lagi, dia nggak pernah ngomong sepanjang itu. Ini mungkin hari yang aneh. Entah dia sedang kerasukan apa.
Akhirnya, kami sampai di masjid yang besar itu. Kami harus pisah, dan karena saat itu masjid sangat ramai, aku harus menunggu untuk mendapat giliran sholat. Sampai sekitar 30 menit di dalam masjid, aku baru selesai shalat maghrib. Awalanya, kupikir dia sudah keluar atau pulang terlebih dahulu. Karena tak kulihat sosoknya dibarisan para laki-laki. Jadi, aku menuruni anak tangga masjid satu-satu, sambil terus memikirkan ucapan dia barusan.
Apa ini mimpi?
Tetesan air yang turun tiba-tiba dari langit membuat aku tersadar. Ini bukan mimpi. Ini terasa amat nyata. Sambil menyeka air yang mendadak juga turun dari ujung mata, aku mulai berlari meninggalkan area masjid. Seorang diri. Sampai ketika aku melihat ke depan, ada dia dengan sebuah daun pisang besar. Senyum itu masih mengembang di wajah putihnya.
"Aku nungguin di bawah lho, tadi. Kenapa duluan?" tanyanya sambil tersenyum. Sumpah, dia nggak pernah semurah ini kalau senyum di hari-hari yang lalu.
"Oh, ya?" aku agak terkejut tapi buru-buru berdiri di sampingnya, dengan daun pisang yang kami pakai untuk menutupi kepala.
Suara gemericik air menjadi lagu tersyahdu yang kudengar di malam itu. Kunikmati semua perjalanan singkat ini, walau air genangan mulai masuk ke dalam sepatu dan itu sungguh mengganggu.
"Kadang, orang-orang bisa bahagia karena dia punya pacar," ucapannya memecah ketenangan di hatiku.
"Tapi, nggak selalu seperti itu juga, sih." Aku menambahkan.
"Itu karena kita memilih pacar yang salah. Makanya, jadi nggak bahagia."
"Emang, kamu gak pernah bahagia?"
"Nggak, kecuali sama keluarga. Tapi, kalau sama orang lain nggak pernah..."
Mungkin, itu yang menjadi alasan untuknya selalu menyindiri. Berjalan sendiri, ke kantin sendiri, pulang pun sendiri. Dia nyaman dengan kesendiriannya.
"Kecuali sama kamu."
Sepertinya, ada yang salah dengan temperatur di sekelilingku. Gerimis masih turun, tapi kehangatan yang kudapat. Ketika kuletakkan telapak tangan ke pipi, aku merasa pipiku memanas. Terlebih, ketika dia tersenyum teramat manis. Sumpah, dia nggak pernah senyum seperti itu. Rasanya, air mata mendesak ingin keluar kala melihat wajahnya.
Aku sudah sampai di penghujung tahun 2014. Dan, aku menyimpan ketertarikan padanya di awal tahun 2013. Dia yang tampak berbeda di hari ini membuatku ingin menangis. Ada apa dengan dia?
"Aku tahu kamu suka sama aku. Di awal 2013 itu. Makanya, ketika sekarang aku bisa ngobrol bareng kamu, rasanya itu senang kuadrat." Dia berhenti berjalan, dan saat itu gerimis pun ikut berhenti.
Aku seperti tidak bisa mengendalikan diri. Kupegang pundaknya dan kugoyang-goyangkan. "Hei! Sadar! Kamu nggak pernah seperti ini," ucapku sambil tertawa. Kupikir gerimis kembali menyapa pipiku ketika dia sudah melepas daun pisang itu, tapi ternyata gerimis itu turun dari mataku sendiri. Aku hebat, kan? bisa menangis sambil tertawa.
"Ini serius. Aku maunya kita pacaran."
"Aku mau! Mau banget." Itu mungkin ucapan terkonyol yang pernah aku keluarkan. Dia tersenyum lagi dan ia tampak berbeda di hari-hari yang lalu. "Mau nggak? Nanti, kita pacarannya gini aja. Nggak usah kayak orang-orang. Yang penting kamu tahu, aku suka kamu, kamu suka aku. Dan, nanti kita ketemu lagi saat kita udah kerja. Saat semua impian yang udah kita targetkan tercapai." Aku menepuk-nepuk pundaknya. Entah apa yang kuucapkan. Absurd banget.
"Iya, aku setuju. Tapi, aku maunya sama kamu, ya."
Perjalanan pulang pun menjadi lebih berarti. Dan, gerimis kembali menyapa. Rumah dia lebih dekat dengan masjid, akhirnya dia yang lebih sampai terlebih dahulu. "Mau mampir?" tawarnya ketika aku berdiri di depan rumahnya dan hendak mengucapkan salam perpisahan.
"Nggak. Aku pulang duluan, ya," balasku sambil mengucapkan salam perpisahan untuk hari itu.
Sumpah, dia nggak pernah seperti itu, di hari-hari yang lalu.
***
Langit mulai menggelap dan adzan maghrib kembali terdengar dari masjid megah itu. Entah, kakiku menuntutku untuk sholat di masjid itu. Seperti biasa, masjid tampak ramai walau dari kejauhan.
"Eh, kita ketemu lagi," itu suara dia. Dia memakai baju koko putih dengan celana hitam. Bibir pinknya mencetak seulas senyum.
"Eh, iya," aku jadi kikuk. Dan, di perjalanan menuju masjid itu kami tidak saling ngobrol.
Aku cukup lama berada di dalam masjid. Tenang sekali rasanya di sini. Udaranya pun sejuk. Dan, ketika aku hendak pulang, jalanan becek akibat hujan besar sekitar 10 menit yang lalu. Aku menuruni tangga dan memperhatikan sekeliling. Berharap dia ada di sana, menungguku. Ternyata benar. Wajahnya mencolok sekali di penglihatanku.
Dia memegang mangkok mie ayam yang isinya tinggal sedikit. Ketika melihatku, dia buru-buru memberikan kode dengan tangan untuk berhenti dan menunggu. Sementara, dia membayar makanannya.
"Kupikir kamu udah pulang," aku membuka pembicaraan.
"Nggak dong, kan nungguin kamu. Eh, kok lama banget di masjidnya?"
"Iya, habis, masjidnya nyaman," aku menarik napas, merasakan udara disekeliling yang segar.
"Eh, mau mie ayam, gak?" tawarnya sambil menoleh ke belakang, ke arah penjual mie ayam yang ada di area masjid.
Aku tertawa, kenapa telat nawarinnya, sih? Kan udah lumayan jauh dari area masjid. Jadi, aku mengeleng sambil tertawa.
Perjalanan pulang pun kembali berkesan. Bisa berjalan dan ngobrol berdua pun terasa sungguh mengesankan. Kubilang, dia beda sekali dengan dia di hari-hari yang lalu. Ketika melewati depan rumahnya, aku bertemu dengan adik perempuannya. Wajah adik perempuannya mirip dengan dia, kulit putih bersih, mata besar yang terang, bibir pink yang cukup tebal, dan alis yang tebal.
"Kak, bantuin aku buat puisi dan not balok gitu, dong!" adiknya merengek agak manja ketika dia baru membuka pagar rumah.
"Eh, dia jago lho buat puisi dan bikin not balok." Dia menunjuk ke arahku. Sontak, aku langsung tergagap dan mengelak ucapannya.
"Iya, kak? Wah, bantuin aku, ya." Adiknya langsung heboh tanya ini-itu padaku.
Tak lama, adik laki-lakinya yang paling kecil ke luar dari rumah dan menghampiri kami bertiga yang sedang duduk di teras. Dia menatapku bingung tapi raut penasaran tergambar jelas di wajah imutnya. Lagi-lagi, wajah adik laki-lakinya mirip dengan dia.
"Kak, punya pacar kok diem-diem aja, sih," celoteh adik perempuannya, dengan nada sok menggoda.
"Ini, baru mau dikasih tahu." Kata dia, dengan nada suara yang terdengar tenang. Hih, kenapa sih, dia selalu bersikap tenang sementara aku sulit sekali tenang?
Suasana rumahnya makin hangat ketika ibu dan ayahnya ke luar juga. Membawakan teh hangat dan biskuit. Memintaku untuk menyicipinya dengan segera. Rasanya aku pengin langsung pulang... malu.
Dan, setelah kejadian aneh di hari itu yang tak pernah kubayangkan sebelumnya, hari-hariku mulai berubah.
***
Dia sudah tidak tampak sendirian lagi di sekolah. Dia selalu mengajakku saat ke kantin, perpustakaan, dan ketika pulang. Hari ini, dia bilang akan menungguku di depan gerbang sekolah. Tapi, mendadak teman ekskulku memberitahu kalau hari ini ada rapat untuk persiapan penggantian kepengurusan. Gila, dua hal penting di waktu yang bersamaan. Tapi, yang kuingat, aku berkata seperti ini pada temanku itu, "maaf ya. aku nggak bisa. Ada sesuatu yang nggak bisa aku bilang sekarang. Kalian pasti nggak akan percaya. Aku janji bakal cerita nanti." Dan, setelah itu, aku langsung kabur dan menemui dia di depan gerbang sekolah.
***
Mimpi. Itu hanya bunga tidur di kamis (20 November 2014) yang becek. Pantas aja, semuanya terasa membingungkan, aneh, dan terasa tak mungkin. Tapi, semua itu terasa nyata. Ini hanya sebuah cerita dari bunga tidur yang aneh yang dialami oleh seorang perempuan yang juga aneh. Entah apa maksudnya, tapi bunga tidur ini membuat perempuan itu mendadak bingung dengan perasaannya sendiri.
Dan, sosok 'dia' ingin sekali perempuan itu lihat, walau hanya dalam mimpi. Tapi, di tidurnya di malam dan siang hari pada hari jumat ini, tidak membuat perempuan itu menemukan sosok 'dia'. Yang ada, perempuan itu melihat sosok 'dia' di dunia yang nyata tapi semu ini. Dia yang tampak tenang, kalem, cuek, dan berpenampilan seadanya. Tapi, tunggu... dia sedang berjalan sendirian menuju gerbang sekolah dan kepalanya menoleh ke kiri, memperhatikan selembaran-selembaran yang tertempel di mading sekolah. Wajahnya tanpa senyum dan datar, seolah-olah tidak mempedulikan sekeliling. Benar kan, ternyata memang senyum dan celotehan itu tidak pernah ada. Itu semua ternyata hanya bunga tidur. Dan, tunggu dulu, jaket yang ia kenakan.... itu jaket yang ia pakai juga di dalam mimpi perempuan itu.
Singkat kata, itu bunga tidur yang terlampau indah dengan gerimis sebagai saksinya.
21/11/2014.
Komentar
Posting Komentar