BALON-BALON IMPIAN

Sore itu, langit mulai mendung. Awan hitam dengan seenaknya menggantikan posisi awan putih. Tapi untungnya, tidak ada setetes air pun yang jatuh dari langit.
Aku merapatkan jaket biruku, karena tiba-tiba saja suasana menjadi dingin. Walau langit mulai gelap, tapi tak ada niat sedikit pun untuk pergi dari tempat ini. Kamu tahu mengapa? Karena aku masih menunggumu di sini. Di bukit kecil ini. Aku yakin, kamu pasti datang. Kamu kan sudah berjanji padaku, dan aku yakin, kamu tidak akan mengingkari janjimu itu.
Terdengar langkah kaki mendekat dan aku tahu itu pasti kamu. Benar saja. Kamu berlari terengah-engah, membungkukkan tubuh untuk mengatur napas, dan melemparkan wajah yang sulit untuk kutebak.
“Ada apa, sih?” tanyamu. Dari nada suaramu, aku dapat menyimpulkan kalau kamu sedang kesal denganku. “telepon tiba-tiba dan nyuruh aku ke sini!”
Aku tersenyum manis yang mungkin tidak berarti apa-apa untukmu. “Main layangan, yuk!” tak kuindahkan pertanyaanmu itu. Tanpa berdosa, aku mengambil layangan warna-warni yang sedari tadi kutaruh di belakang punggung.
Kamu mengernyit, mungkin menganggap kalau aku ini perempuan aneh. “Tapi sebentar lagi akan hujan!” protesmu. Ponimu yang tampak rapih bergoyang tertiup angin. Untung saja kamu memakai sweter merahmu itu, karena tiba-tiba saja angin berhembus kencang.
“Mendung tak berarti hujan, kan?” tanyaku jahil. Cepat-cepat kupaksa dirimu untuk memegang ujung layangan itu, sementara itu aku yang akan mengendalikannya.
Dengan terpaksa kamu menurutinya. Wajahmu menekuk sebal. “Jangan aneh-aneh, deh. Sekarang kamu mau ngapain lagi?” tanyamu ketika melihat aku mengeluarkan selembar kertas dan menyelipkannya pada kerangka layangan.
“Mau membuat impianku terbang ke langit,” jawabku santai. Ya, kertas itu berisi impianku. Impian yang dari dulu sangat aku harapkan akan terwujud. Jujur saja, impianku itu tidak muluk kok.
“Impian? Ah, dari dulu kamu selalu saja melakukan hal aneh! Memang apa sih, impianmu itu?” tanyamu dengan nada ingin tahu.
“Rahasia, dong!” sahutku cepat. Kulirik dirimu yang kini tampak kesal.
“Jangan-jangan impianmu masih sama dengan yang dulu?”
Yang dulu? Ah iya, tentu saja masih sama. Dulu, aku pernah meminta kamu untuk memanjat pohon yang sangat tinggi dan aku lihat kamu sangat ketakutan untuk memanjat. Tapi katamu, demi diriku yang telah bersahabat denganmu dari SMP, kamu mau menaruh kertas yang berisi impianku itu di atas pohon itu. Ohiya, aku masih ingat. Waktu itu kamu bertanya mengapa aku menaruh impian di atas pohon! Tapi aku tidak menjawabnya. Aku malu, kalau aku memberitahu alasannya, kamu akan menganggapku perempuan yang super aneh. Tapi suatu saat, aku akan memberitahukan alasan itu. Alasannya, karena setahuku, kalau kita menaruh impian di tempat yang tinggi, impian itu akan cepat sampai pada Tuhan.
“Tentu saja! Aku belum mau mengubah impianku ini kalau impian ini belum juga terwujud!” balasku keras kepala.
Kamu angkat bahu dan menghembuskan napas berat. “Memangnya apa, sih? Kasih tahu, dong. Mungkin saja aku dapat membantu untuk mewujudkan impianmu itu!”
Deg.
***

Aku tertawa karena melihatmu berlari-lari di teriknya matahari dan akhirnya menimbulkan bercak keringat di seragam putihmu. Tapi kamu tidak memperdulikan tawaku. Dari sorot matamu, aku dapat mengira kalau kamu bingung kenapa aku memintamu untuk datang ke sini.
“Memangnya cuaca panas, ya?” tanyaku dengan nada polos.
Kamu merengut. “Jakarta memang selalu panas. Kapan sih, Jakarta nggak panas?”
Aku tersenyum mendegar ocehanmu. “Kalau sedang hujan,” sahutku cuek.
Dan kutatap kamu yang malah tertawa kecil. “terus, sekarang kamu mau ngelakuin hal aneh apa lagi?”
Aku memutar-mutar bola mataku. Bergumam sejenak dengan tangan yang  terlipat di dada. “ikut yuk!” dengan tiba-tiba, kutarik lenganmu yang rasanya hanya tulang saja. Ah, mengapa kamu begitu kurus sih? Apa karena kamu stress menghadapi UN nanti? Entahlah. Walau bagaimana pun, percayalah, aku tetap suka padamu.
“Monas?” kamu mengangkat sebelah alismu. Oh, kuakui, saat itu kamu sangat keren sekali. Tapi, bisakah bibirku terbuka untuk mengatakan ‘kamu keren sekali?’. Sial, bibirku rasanya lengket sekali sehingga sulit terbuka.
Aku menyeringai. “naik ke puncaknya, yuk!” tanpa memberontak, kamu mengikutiku.
Sepanjang perjalanan menuju puncak monas, kamu dan aku hanya diam. Di dalam lift pun kamu hanya diam. Aku tidak tahu mengapa kamu diam, karena tidak biasanya kamu diam seperti ini. Kamu kan senang sekali mengoceh dan menggerutu!
 “Sampai!” aku merentangkan tangan setelah sampai di puncak monas. Kota Jakarta terlihat jelas dari sini.
Kamu hanya geleng-geleng kepala. “seneng banget,” celetukmu.
Saat itu, monas sangat sepi. Jadi, aku tidak perlu terganggu oleh kebisingan para pengunjung. Jadi, aku bisa lebih leluasa bersamamu di sini. Jadi...
“Iya, aku seneng banget. Bantuin tiupin balon ini, ya!” aku mengulurkan 7 buah balon, 3 berwarna biru dan 4 berwarna merah.
Tak kusangka, kamu menerimanya dan tidak mengeluh. Kamu mengambil balon berwarna merah dan mulai meniupnya.
“Eh, nanti dulu! Aku tulis impianku dulu, ya!”
Otomatis, tiupanmu pun terhenti. Dengan sabar dan tanpa mengeluh, kamu menurutinya. Aku tidak tahu mengapa kamu tidak menggerutu seperti biasanya, mungkin kamu sudah lelah untuk memberitahuku kalau hal-hal yang kulakui ini aneh, bahkan konyol.
Aku ingin Karel bahagia dan bisa selalu bersamaku. Aku ingin ia membalas perasaanku. Setelah menulis tujuh impian yang sama di kertas yang berbeda, aku melipatnya kecil-kecil dan memasukkannya ke lubang balon itu.
“Yeap! Selesai,” ujarku bersemangat.
Setelah itu, tanpa mengeluh sedikit pun, kamu meniupnya. Kuperhatikan dirimu yang kini tengah duduk dihadapanku. Ah, rasanya mata ini tak ingin lepas memandangmu.
Akhirnya, semua balon sudah berhasil tertiup. Aku mengikatnya menjadi satu untuk nantinya diterbangkan. Kamu bangkit dari duduk dan membersihkan celana abu-abumu yang sedikit kotor.
“Terus mau diapakan?”
“Diterbangkan. Katanya, kalau aku menaruh impianku ini di balon dan menerbangkannya, impianku ini akan lebih-lebih cepat sampai, loh!”
“Kata siapa?”
“Tukang balon yang sering mangkal di dekat komplekku.”
Kamu tertawa geli. Lalu tak lama, berhenti tertawa. Aku kecewa saat kamu berhenti tertawa, karena aku suka tawamu. Suara tawamu sangat renyah di telingaku.
The Strange Girl!” ledekmu dan aku tertawa.
Lalu, aku menerbangkan balon berwarna biru dan merah itu. Dengan bantuan angin, balon itu terbang tinggi... sangat tinggi sampai akhirnya aku tidak dapat melihatnya lagi. Mungkin kamu bingung mengapa aku memilih balon berwarna biru dan merah, juga mengapa menyiapkan tujuh balon. Oke, akan kujelaskan, sebenarnya simple saja sih. Biru adalah warna kesukaanku. Merah adalah warna kesukaanmu. Tiga adalah tanggal ulang tahunku dan empat adalah tanggal ulang tahunmu. Hanya itu.
Aku menatapmu dalam-dalam. Setelah balon itu tak terlihat lagi –dan aku menganggap balon itu sudah sampai pada Tuhan- aku menatap dirimu. Jantungku berdebar dan hati nurani mendesakku agar aku segera menyatakan apa yang ada di hatiku sekarang. Ah, andai saja kamu memiliki kemampuan membaca pikiran, kamu pasti tahu apa yang sedang kupikirkan. Sesuatu yang benar-benar membuatku galau.
Tapi sial. Saat menatap matamu aku tidak dapat mengatakan apa yang kurasakan. Maka, aku hanya dapat menunduk dan mengajakmu pulang.
***

Ibuku bilang, perempuan tidak boleh menyatakan perasaannya pada laki-laki. Perempuan haruslah kalem kalau menyukai laki-laki, jangan kecentilan atau semacamnya. Tapi aku bingung. Kalem, ya? Tapi aku mengartikan kalem itu dengan diam saja. Masa untuk mendapatkan apa yang kita impikan, kita hanya diam saja? Apa tidak ada usaha? Kalau tidak usaha kan tidak dapat terwujud.
Karena aku tidak dapat menyatakan apa yang kurasakan, maka aku hanya mampu menuangkan apa yang kupikirkan di sini. Berharap kamu membacanya dan segera mengerti apa yang kurasa. Oh tapi, aku tidak memaksamu untuk membalasnya. Kalau kamu tidak suka dengan perempuan aneh sepertiku ini, tidak apa.
Sudah deh, aku bingung mau menulis cerita apa lagi tentangmu. Aku hanya ingin memberitahu, aku masih menunggumu di sini. Tenang saja. Kalau kamu ingin membantuku mengabulkan impianku, tolong bantu ya! :)
Ohiya, jangan harap aku akan ‘menembak’ mu ya! Perempuan yang tahu diri dan memiliki rasa malu pasti tidak akan melakukan hal itu.

By: Dyah Apriliani Kusumaastuti

***

MAKASIH BANGET udah baca sampai habis ^_^ Makasih banget deh pokoknya telah membaca cerita yang saya tulis dalam waktu singkat ini ^-^"Saya buat cerita ini dalam waktu 30 menit T^T jadi hasilnya pasti berantakan banget.
Jujur, saya bingung namain nih tulisan apa. apa layak disebut cerpen? ah biarin deh, cuma mau menuangkan apa yang ada di otak aja :) ohiya, tulisan ini juga saya buat untuk teman-teman saya yang insyaallah ga akan mengkhianati (?) haha.
Oh iya, sebenarnya cerita ini udah pernah saya post ke Facebook, tapi saya post di blog juga deh, biar blognya ada isinya gitu, hehehe -_-
And than, minta KERIPIK PEDAS nya dong ;) hihi. silahkan komen xD Makasiihhhh

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[REVIEW BUKU-SHOOTING STAR BY VERONICA GABRIELLA]

RESENSI FANTASTEEN SCARY-HALTE ANGKER- BY DYAH APRILIANI

[REVIEW] NOVEL MR AND MRS WRITER BY ACHI TM