Rendahnya Kesadaran Berlalu Lintas Bagi Pengendara Roda Dua
Rendahnya Kesadaran Berlalu Lintas Bagi Pengendara Roda Dua
oleh: Dyah Apriliani Kusumaastuti
Ditulis sebagai pemenuh tugas Dasar-Dasar Penulisan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Tangerang
1438 H/2016
Meninjau dari konsep psikologis,
Lieb dan Wisman (2001) meyakini bahwa keselamatan berlalu lintas dipengaruhi
oleh sikap-sikap pengendara pada aturan lalu lintas, sehingga mengetahui sikap
mereka menjadi aspek penting dalam kajian psikologi lalu lintas.
Untuk mengetahui sikap pengendara,
dalam hal ini adalah pengendara roda dua, bisa ditinjau dari lingkungan
sosialnya. Karena nantinya lingkungan sosial ini akan membentuk sikap mereka
dalam berkendara. Sebagai contoh, mereka yang bergabung dengan komunitas sepeda
motor vespa akan memiliki sikap yang berbeda dengan yang bergabung di komunitas
sepeda motor ninja, dan bahkan yang tidak mengikuti komunitas apapun akan
menunjukkan sikap berkendara yang berbeda pula.
Selain itu, lingkungan pergaulan
yang sifatnya internal juga bisa membentuk sikap seseorang dalam berkendara.
Adanya nilai-nilai berlalu lintas yang diajarkan oleh orang terdekat, dapat
membantu membentuk sikap seseorang dalam berkendara. Misalnya, orangtua yang
memberikan pemahaman berlalu lintas pada sang anak. Kalau seseorang tersebut
tidak mendapatkan pengetahuan yang baik tentang lalu lintas dari lingkungan
internal maupun eksternalnya, hal ini dapat menjadi penyebab rendahnya
kesadaran berlalu lintas. Maka dari itu, untuk membentuk sikap dan norma
berlalu lintas, perlu adanya edukasi sejak dini tentang keselamatan berkendara.
Kecenderungan seseorang tidak
disiplin berlalu lintas biasanya sering disebabkan oleh gangguan psikologis,
seperti susah berkonsentrasi, mengantuk, atau adanya pengaruh dari obat-obatan.
Hal ini tentu saja dapat membahayakan diri sendiri dan juga pengguna jalan yang
lain. Bahkan, sering kali kita melihat banyaknya pengemudi kendaraan bermotor
yang belum cukup umur. Mungkin secara pengetahuan ia sudah mengerti caranya
mengemudi, tapi secara fisik dan mental belum terpenuhi. Atau mungkin
sebaliknya, fisiknya sudah memungkinkan ia untuk mengemudi kendaraan, tapi
mental dan pengetahuan mengemudinya masih belum cukup. Maka dari itu,
kecelakaan berlalu lintas sering sekali menghantui pengendara usia muda.
Oleh karena itu, untuk menjaga
keselamatan diri sendiri, selain menyiapkan alat keamanan berupa helm dan Surat
Izin Mengemudi, perlu juga membekali diri dengan kecakapan berkendara dan
pengetahuan mengenai rambu lalu lintas. Penting juga untuk selalu ingat
mengatur kecepatan di jalaan, jangan sampai kecepatan yang digunakan melebihi
batas maksimum yang telah ditetapkan oleh Kemenhub. Batas kecepatan mengemudi
di jalan raya atau perkotaan yaitu 50 km/jam, dan untuk kawasan permukiman
batas paling tinggi hanya 30 km/jam1.
Menurut Sugihardjo, Sekretaris
Jendral Kemenhub, yang dikutip dari laman resmi Kemenhub, mengatakan bahwa
faktanya banyak kasus kecelakaan di jalan raya yang disebabkan oleh faktor
manusia atau human error yang salah
satunya telah melanggar batas kecepatan maksimum tersebut.
Untuk menekan angka kecelakaan di
jalan raya, selain memberikan sosialisai tentang safety riding pada pengendara, polantas pun mencoba cara kreatif
untuk mengingatkan dan mengedukasi masyarakat. Seperti memajang baliho tentang
peringatan untuk berhati-hati di daerah rawan kecelakaan.
Selain faktor psikologis, ada juga faktor
sarana dan prasana yang dapat mempengaruhi keselamatan berlalu lintas. Sarana
dapat diartikan sebagai salah satu alat yang disediakan oleh pemerintah untuk
rakyatnya, yang berfungsi untuk memudahkan suatu urusan atau tujuan. Di samping
menyediakan sarana, pemerintah juga menyiapkan prasarana yang berfungsi untuk
menunjang sarana tersebut. Sarana dan prasarana memiliki hubungan yang sangat
penting karena apabila sarana ada tetapi tidak ditunjang dengan prasarana,
suatu urusan atau tujuan yang ingin dicapai tidak akan bisa berjalan dengan
baik.
Di berbagai daerah di Indonesia,
pemerintah sudah mengupayakan untuk membangun prasarana seperti jalan yang
lebih baik. Karena adanya jalan berlubang dan bergelombang, bisa memicu
terjadinya kecelakaan. Menurut Kasat Lantas Polresta Tangerang, Kompol Eko
Bagus Riyadi, ia menjelaskan kalau perbaikan jalanan yang rusak dan
bergelombang mampu menekan angka kecelakaan di Kabupaten Tangerang. Terbukti,
tahun 2015 telah terjadi 22 kecelakaan lalu lintas, dan per tahun 2016 sampai
bulan Juli di tahun ini, setidaknya hanya terjadi tujuh kecelakaan lalu lintas,
dengan korban meninggal dunia sebanyak 4 orang. Penurunan angka kecelakaan ini
tentu tidak lepas dari kegigihan para polantas untuk terus membangun kesadaran
berkendara di kalangan pengendara dan pengguna jalan.
Di samping itu, ada satu prasarana lagi
yang fungsinya sering diabaikan oleh pengguna jalan, yaitu rambu lalu lintas.
Rambu lalu lintas dibuat untuk memberikan kenyamaan pada pengguna jalan agar
tidak ada konflik atau hambatan dari berbagai arus dan apabila terjadi
kesemerawutan di jalan, hal ini tentu dapat memicu terjadinya kecelakaan lalu
lintas. Selain itu dengan adanya lampu lalu lintas, juga dapat memberikan
kesempatan pejalan kaki untuk menyebrang.
Begitu penting manfaat dari menaati
lampu merah, tetapi masih banyak sekali pengguna jalan yang mengabaikannya.
Menerobos lampu yang masih merah dan menciptakan ketidakteraturan di jalanan
dilakukan oleh banyak orang dan dianggap hal yang biasa, karena ada banyak juga
orang yang melakukan itu. Jadi, tidak menaati lampu lalu lintas sudah dianggap
hal lumrah. Bahkan, seringkali kita menemukan pengendara yang tidak sabaran di
jalanan, dan hal itu dapat membahayakan pengendara yang lain.
Nilai untuk saling menghormati
sesama pengguna jalan sepertinya sudah hilang dari beberapa pengguna jalan.
Rasa takut, rasa bersalah dan rasa malu bila melakukan kesalahan juga sudah
mulai terkikis. Kesalahan dalam melanggar lalu lintas sudah dianggap biasa saja
dan sering kali ditemui di jalanan, terutama jalanan yang luput dari pantauan
polisi lalu lintas. Setiap pengendara seolah sudah kehilangan etika dalam
berkendara apabila ia mengabaikan keselamatan diri sendiri dan orang lain.
Setidaknya, faktor psikologis,
faktor prasarana-sarana, dan rendahnya etika mengemudi inilah yang mempengaruhi
tingkat kesadaran pengendara bermotor. Disamping melakukan sosialisasi, perlu
juga ada sanksi tegas bagi pengendara yang melanggar dan yang menyebabkan
ketidakteraturan, agar kesadaran mengemudi itu dapat menular ke pengguna jalan
lainnya. Karena lalu lintas dapat dijadikan cerminan moral dan budaya bangsa,
agar dapat menciptakan keamanan, ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas.
1. Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No. 111/2015.
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, Dini. 2013. Studi Tentang Perilaku Pengendara Kendaraan
Bermotor di Kota Samarinda. (Online). ejournal.sos.fisip-unmul.org. Diakses
pada 8 Oktober 2016.
Riskiansah, Anna. dan Zain,
Ismaini. Analisis Pola Tingkah Laku
Pengendara Sepeda Motor di Kota Surabaya Dengan Driver Behavior
Questionaire. (Online), http://digilib.its.ac.id/public/ITS-paper-19525-1307100086-Paper.pdf. Diakses pada 8 Oktober 2016.
Simorangkir, Hendrik. Juli 2016. Angka Kecelakaan Lalu Lintas di Kabupaten
Tangerang Menurun. Jakarta: Tiga Pilar News.
Hakim, Lukman. dan Nuqul, Fathul
Lubabin. 2011. Analisa Sikap Terhadap
Aturan Lalu Lintas Pada Komunitas Bermotor, (Online),Vol. VIII, No. 2.
93-103, http://repository.uin-malang.ac.id/311/1/Analisa-Sikap-Terhadap-Aturan-Lalu-Lintas-Pada-Komunitas-Bermotor.pdf. Diakses pada 9 Oktober 2016.
Komentar
Posting Komentar