Ibu, Aku Tahu...
Ibu Hebat, Anak Hebat, Bapak Hebat :) |
Suara tangis bayi itu pecah di pagi hari yang jatuh pada tanggal 12 April 1997 lalu. Sekitar pukul 9 pagi, telah hadir penduduk bumi yang baru. Penduduk bumi bertubuh mungil yang ketika hadir kedua telapak tangannya masih terkepal, darah melumuri seluruh tubuh mungilnya, lalu tangisnya memecah pagi yang indah itu.
Ibu dari bayi mungil
itu tampak lega melihat ‘penduduk bumi’ yang baru itu akhirnya datang dengan
selamat. Tanpa cacat di fisiknya. Dan, pada saat itu juga, bayi mungil yang
baru terlahir dari rahim seorang ibu hebat itu lahir setelah matahari terbit.
Kelahirannya menyusul sang surya yang sudah tiba terlebih dahulu untuk
menerangi bumi.
***
Itu kejadian 16 tahun yang lalu.
Kejadian yang mungkin sekarang sang bayi sudah tidak tahu persis bagaimana
kronologisnya, bagaimana ia bisa dilahirkan dengan selamat. Bayi mungil itu
sudah tidak sekecil dahulu, ia sudah tumbuh menjadi seorang remaja perempuan
yang semakin bertambah dewasa semakin bertambah pula impian-impiannya.
Bayi mungil itu adalah
aku. Aku yang kini sudah memasuki usia 16 tahun. Ketika aku sadari kalau diriku
ini dulunya hanyalah bayi merah yang lahir dari seorang rahim perempuan hebat,
aku tahu siapalah orang di dunia ini yang pertamakali harus kucintai,
kusayangi, dan kulindungi. Ibuku.
Ibu, mungkin ini hanyalah kumpulan kata sederhana yang belum bisa
untuk membalas semua jasa-jasamu. Tapi, aku harap kumpulan kata ini dapat membuat
kamu yakin, kalau disini, anakmu ini sangat menyayangimu. Walau seringkali aku bersikap
menyebalkan, acuh, dan hal-hal yang tak patut padamu.
Ibu, aku
tahu, saat kamu memarahiku karena kelakuan nakalku, itu bukan berarti kamu
membenciku, tapi kamu ingin aku menjadi lebih baik lagi dan tidak mengulangi
perbuatan itu lagi. Kamu begitu menyayangiku hingga tidak ingin aku melakukan
hal buruk.
Aku tahu, saat kamu
bilang kamu terluka oleh ucapanku, itu bukan berarti kamu langsung melepaskan
seluruh rasa kasih sayangmu dan tidak lagi menganggapku sebagai anak. Kamu
hanya ingin membuatku merasa menyesal dan segera menyadari kesalahan ucapanku,
lalu esoknya kamu langsung membelai lembut kepalaku dan berkata ‘belajar yang
rajin, ya’.
Aku tahu, saat kamu
mendadak ingin tahu urusanku di sekolah dan siapa temanku di sekolah, itu bukan
berarti kamu ingin ikut campur urusanku. Dalam lubuk hatimu, kamu pasti ingin
agar bidadari kecilmu ini mempunyai teman yang baik dan tidak berada di
pergaulan yang salah.
Aku tahu, saat kamu
menanyakan belajar apa di sekolah hari ini setiap aku pulang sekolah, itu bukan
berarti kamu ingin sok menciptakan keharmonisan diantara kami. Itu bukan
berarti kamu ingin membandingkanku dengan orang lain begitu aku bilang aku
memgalami kesulitan di beberapa mata pelajaran. Tapi, itu adalah sebuah bukti
bahwa aku adalah anakmu, dan sudah sewajarnya bagi seorang ibu untuk memperhatikan
anaknya. Itu adalah sebuah perhatian kecil yang sangat aku butuhkan. Walau
terkadang, aku sering malas menjawab pertanyaan yang hampir tiap hari setelah pulang
sekolah selalu kudengar.
Aku tahu, saat kamu
melarangku untuk bermain dengan teman-teman lawan jenisku, itu bukan berarti
kamu ingin menghalangi kesenanganku. Itu karena kamu terlalu peduli dan
khawatir padaku, hingga tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa anakmu ini.
Aku tahu, saat ada air
mata mengalir di pelupuk matamu begitu melihat aku pernah memenangi sebuah
lomba menulis di sekolah, itu karena kamu berpikir aku ini anak yang hebat.
Seharusnya ibu tahu, aku bisa seperti ini juga berkat ibu. Yang tak lelah
membimbingku di masa remaja yang penuh lika-liku. Di masa yang biasanya para
remaja habiskan untuk berfoya-foya di luar rumah dibanding untuk berpikir dan
berusaha mengejar impian.
Terimakasih, kalau ada
kata yang lebih indah daripada terimakasih, itu cocok diberikan untukmu, Ibu.
Malaikat yang menjagaku di dunia yang indah tapi aneh ini.
Anakmu tercinta,
Dyah Apriliani Kusumaastuti.
Komentar
Posting Komentar