BUKAN KISAH AAN & DEN
“Kamu mungkin
tidak akan sanggup menjadi aku.”
Perkuliahan baru selesai tepat jam 11 siang waktu
itu. Di saat otak Aan masih hangat mengingat-ingat materi yang baru diberikan
oleh dosennya. Hidup Aan dianggap sangat mudah dan menyenangkan menurut
teman-temannya. Bagaimana tidak, ia mampu menjawab pertanyaan dosen dengan
sangat cemerlang, mampu mengerjakan quiz
yang diberikan dosen dengan sangat baik, nilai UTSnya tidak mengecewakan, dan
walau pun begitu, ia masih sering menyisihkan waktu untuk bergaul dengan
teman-temannya, sejenak meluangkan waktu untuk jajan es di pinggiran jalan
depan kampus.
Aan selalu ceria saat di kampus, tidak pernah ia
mengeluh dan menceritakan permasalahan hidupnya. Yang ada, ia selalu membuka telinga
lebar-lebar dan sering memberikan tepukan atau pelukan hangat pada temannya
yang telah selesai menceritakan permasalahan hidupnya. Setidaknya, begitulah
menurut pandangan teman-teman Aan. Mungkin hanya Aan manusia di muka bumi ini
yang tidak pernah tertimpa masalah. Habis, ia tampak berbeda dengan perempuan
mana pun.
Seperti biasa, di waktu yang mulai terik itu, Aan
dan beberapa teman sekelasnya sedang mengantri untuk membeli es pinggiran jalan
yang hanya berharga tiga ribu rupiah. Tiba-tiba, Den, teman sekelas Aan,
mennyolek pundak Aan dengan ragu. Seperti biasa pula, Aan menyapanya dengan
ramah. Membuat Den agak tersipu dan tampak grogi.
“Aan, boleh kita berbicara sebentar?” tanya Den
dengan suara agak bergetar.
Ketakutan dan kecemasannya langsung hilang begitu
saja saat Aan mengangguk dengan riang. Sementara Aan baru saja menerima es
miliknya, teman-temannya yang lain langsung berseru untuk meledek Aan dan Den
yang tampak tak menggubris ledekan mereka.
“Mau berbicara apa, sih?” Aan menyeruput es jeruknya
yang sangat menggoda, lalu dengan isyarat dia menawarkan es-nya pada Den. Dengan
tegas, Den menolaknya.
“Aan, duduk di sini saja, ya.” Den langsung duduk di
bawah kursi panjang yang letaknya ada di bawah pohon besar. Di depannya, ada
lapangan basket yang sepi. Tempat ini tidak jauh dari lokasi kampus. Bahkan,
Den amat yakin kalau teman-teman Aan pasti sedang berusaha untuk mencuri dengar
apa yang akan ia omongkan.
Aan menurut, dengan santai ia duduk dengan mengatur
jarak sekitar 60 cm dari Den.
“Kenapa sih, hidupmu terlihat menyenangkan?” buka
Den langsung, dan Aan sukses tersedak oleh minumannya sendiri. Melihat Aan yang
langsung tersedak, Den buru-buru menepuk pundak Aan untuk membantu, tapi Aan
dengan cepat menolak bantuan Den.
“Oke, lalu?” tanya Aan kemudian, ketika ia mulai
bisa mengontrol diri.
“Ya, kenapa sih, kamu bisa sebegitu cemerlangnya?
Kenapa kamu bisa cerdas? Kenapa juga bisa tersenyum setiap saat? Kenapa kamu
tampak selalu bahagia?” buru Den langsung. Tanpa sadar, Den meluapkan seluruh
emosinya.
Den, laki-laki dengan penampilan sederhana setiap
harinya, seolah menunjukkan kalau ia adalah manusia termalang di dunia ini. Dengan
kantung matanya yang besar, Den menjambak rambutnya. “Ah, kenapa sih, hanya aku
yang berbeda di dunia ini?” tanya Den langsung sembari menatap Aan yang kini
tampak prihatin dengan Den.
Jeda cukup panjang setelah Den meluapkan apa yang
ada di hatinya. Entah, Aan juga cukup terkejut mendengar pertanyaan Den yang
begitu tiba-tiba. Dan juga, nada suara Den yang terdengar putus asa.
“Coba kau tumpahkan saja semua yang ada di hatimu,
Den. Aku tahu masih ada yang mengganjal di hatimu.” Aan menatap Den lekat. Lalu,
dengan gerakan perlahan kembali menyeruput esnya.
“Aan, kamu membuatku iri, tahu?” tatapan mata Den
tampak nanar. Benar, Den tampak menyedihkan sekali. Bibirnya pun bergetar
hebat.
“Aku hidup di dalam keluarga yang tidak
menyayangiku. Kami mengurus semuanya masing-masing. Bahkan, untuk uang kuliah
pun, orangtuaku tidak bisa membiayai semuanya. Mau tidak mau, aku harus mencari
uang tambahan. Kadang, aku mencari uang yang tidak halal. Tapi, mau bagaimana
lagi? Terlebih, Kakakku satu-satunya tidak bisa diandalkan. Dia selalu
memarahiku tiap hari, pun gaji dari pekerjaannya hanya ia pakai untuk
bersenang-senang. Terkadang, Ibu dan Kakakku bertengkar gara-gara uang. Lalu,
Bapak yang selalu mengeluh karena uang belanja Ibu yang cepat habis. Susah
betul jadi aku itu. Rasanya ingin mati saja.” Den menghembuskan napas berat.
“Apa dengan kamu mati semua permasalahanmu hilang,
Den?”
“Tentu saja.”
“Ini sangat sederhana, Den. Kalau begitu, kamu mati
saja.” Aan menanggapinya dengan enteng.
Den terkejut mendengar ucapan Aan. “Eh, kok kamu
bilangnya begitu? Harusnya kamu bisa memberikan solusi dari permasalahanku,
Aan. Kulihat, kamu sering sekali menjadi sumber jawaban dari masalah
teman-teman yang lain. Tapi, kenapa kamu malah mengusulkan aku untuk mati saja?”
Den tidak terima.
Aan mengangkat wajahnya, lalu menatap ring basket
dengan mata mengernyit, silau sekali. “Aku tidak bisa memberi solusi pada orang
yang sudah mempunyai pikiran ‘lebih baik aku mati saja, karena dengan begitu
permasalahanku akan hilang’. Karena, orang tersebut sudah memutuskan ingin
mati, tidak akan ada yang bisa menghalanginya. Dia sudah putus asa dan
menyerah. Ya, seperti yang kamu bilang itu.”
Den langsung menggeleng. “Ya, tapi, aku juga belum
ingin mati. Tadi itu hanya ungkapan karena aku sedang kesal saja.”
“Oke, kembali lagi pada pertanyaan awalku. Kenapa
kamu bisa begitu cemerlang? Seolah-olah kamu itu makhluk tak bermasalah di bumi
ini, tahu?”
Aan tertawa. “Teman-teman hanya tahu kalau hidupku
baik-baik saja karena aku sama sekali tidak pernah menceritakan, bagaimana
pedihnya hidupku.”
“Kenapa?” timpal Den langsung.
“Karena mereka tidak pernah menanyakannya. Mereka terlalu
sibuk menceritakan masalahnya padaku dan menungguku memberikan solusi, tanpa
pernah mereka ingin tahu bagaimana sebetulnya keadaanku. Mereka selalu
mengandalkanku, tanpa pernah bisa aku andalkan kembali mereka. Mereka selalu
datang padaku saat susah dan bertanya tentang tugas, tanpa pernah mereka
bertanya, apakah aku sedang tidak sibuk saat itu?”
Aan menarik napas sejenak. Sesak rasanya mengingat
itu semua.
“Aku hanya bersyukur, setidaknya dengan keberadaan
mereka, itu bisa memberitahukan padaku kalau mereka itu membutuhkanku. Kamu
tahu, Den? Betapa irinya aku ketika melihat kamu dan kawan-kawanmu itu bercanda
dan bermain, menertawakan hal-hal tidak penting tapi justru hal itu menjadi
penting untuk kalian bahas, lalu saling main ke rumah satu sama lain dan
berkenalan dengan keluarga mereka. Itu hal yang menyenangkan. Kau punya banyak
teman yang benar-benar ingin berteman denganmu karena dirimu, bukan karena
otakmu saja atau apa pun itu.”
Den menelan ludah dengan susah payah. Kali ini, ia
dapat menangkap sorot mata Aan yang melemah dan tampak lelah. Baru kali ini Aan
tampak tidak bersemangat.
“Terima kasih, Den. Terima kasih karena sudah
menanyakan hal itu padaku. Terima kasih pula sudah membuatku jadi menceritakan
apa yang tengah aku pendam ini.” Aan lalu menarik ujung bibirnya, tersenyum
kecil.
“Den, kamu mungkin tidak akan sanggup menjadi aku.
Dan mungkin, aku tidak akan sanggup bila harus menjadi dirimu. Satu yang harus
kita pahami dalam hidup ini, kita akan sanggup menjalani hidup ini bila
dikelilingi oleh orang-orang yang menyayangi kita. Sekarang, walaupun keadaan
keluargamu kacau, kau tetap harus yakin kalau mereka amat menyayangimu. Berdoa
pada Allah Swt., agar hati orang-orang yang menyayangimu dilembutkan. Kalau kamu
terus bersikap keras pada mereka, yang ada mereka akan terus bersikap keras
padamu. Balas semua kekerasan mereka dengan kelembutan hatimu, Den.”
Masih setengah tidak percaya dengan ucapan Aan yang
begitu panjang dan membuat dirinya haru, ia mengangguk. “Aan, kamu tahu,
hidupku bahkan sudah hancur. Kalau aku menceritakan hal itu sekarang padamu,
aku khawatir itu malah menambah beban pikiranmu.”
Aan tersenyum. “Ceritalah. Atau, kau ingin kita
berbincang seperti ini lagi di tempat yang lebih nyaman? Hehehe... Lihat,
sepertinya teman-temanku itu sedang mencurigai kita.” Aan melirik ke salah satu
sudut lapangan, tepat dimana teman-temannya sedang berkumpul.
Den tersipu malu. “Kau ternyata memang hebat, ya,”
puji Den riang.
“Ah, aku biasa saja tahu.”
“Nggak, kamu itu berbeda. Kamu itu hebat.”
Aan bangkit dari duduk dan membetulkan tas
punggungnya. “Sehebat-hebatnya aku, tentu aku tidak akan bisa melewati
permasalahan yang sedang kamu alami itu. Karena aku adalah Aan, bukan Den, yang
memang sudah dirancang sedemikian kuat untuk menghadapi masalah itu.”
Telepon Aan tiba-tiba berbunyi, lalu Aan langsung
melengos ketika melihat siapa yang meneleponnya itu.
Den ikut-ikutan bangkit dari duduk dan bertanya, “kenapa
nggak diangkat?”
“Ibuku menelepon.”
“Wah, senangnya ya punya Ibu yang perhatian seperti
itu,” ujar Den, masih riang. Lalu, ia mengikuti langkah pendek Aan yang
berjalan, hendak menghampiri teman-temannya.
Di luar dugaan Den, Aan malah menggeleng lesu. “Ini
nggak seperti yang kamu bayangkan, Den. Aku punya permasalahan rumit dengan
Ibuku, asal kamu tahu saja.”
“Permasalahan rumit? Oh, yang mana permasalahan itu
hanya kamu sendiri yang bisa menghadapinya karena kamu adalah Aan, yang sudah
dirancang sedemikian kuat untuk menghadapi masalah itu, iya kan?” Den mencoba
menghibur Aan. “Apa pun permasalahan itu, hanya kamu yang bisa menghadapinya. Karena
kamu adalah Aan.”
Aan langsung tersenyum saat mendengar ucapan Den
yang sama persis seperti yang baru saja ia ucapkan, dan dengan tiba-tiba ia
mengajak Den untuk saling tos. Setelah itu, Aan dan Den berpencar ke arah yang berbeda. Aan bertemu
dengan teman-temannya, sementara Den menghampiri teman-temannya yang lain.
Bagi Den yang tadi sempat ingin mati, obrolan tadi
merupakan hal yang tidak pernah ia sangka akan membuatnya menjadi mengerti satu
hal: setiap orang sudah dirancang sedemikian rupa untuk bisa menghadapi
masalahnya masing-masing.
*Kisah Aan dan Den akan berlanjut.
Komentar
Posting Komentar